Selasa, 10 Agustus 2021

Institusi Pendidikan Menangkal Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme

 

Institusi Pendidikan Menangkal Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme

Agus Sugito

Pendahuluan

Pendidikan merupakan ruang publik yang sangat asasi (mendasar), bahkan menjadi tumpuan utama dalam membentuk bangunan peradaban umat manusia, dimana indikator penggerak dan pengembang peradaban bukan saja dari aspek kemegahan fisik semata, namun justru yang paling berperan penting adalah akal budi, yang berfungsi sebagai remote control, pusat kendali kemana dan bagaimana ilmu pengetahuan bisa memiliki nilai manfaat dan keberkahan untuk kehidupan manusia. Al-Attas dalam (Abuddin Nata, 2010), memaknai pendidikan sebagai sarana transformasi nilai-nilai akhlak mulia, yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, serta menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan ini menurutnya perlu dilakukan dalam rangka membendung pengaruh materialisme, sekularisme, dan dikotomisme ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Barat.[1] Dengan demikian, adab (ta’dib) bisa juga diartikan sebagai upaya penanaman nilai-nilai akhlak yang baik bagi seorang guru kepada para muridnya. Ibnu al-Mubarak Ra.menyatakan:

 

“Mempunyai adab (kebaikan budi pekerti) meskipun sedikit adalah lebih kami butuhkan daripada (memiliki) banyak ilmu pengetahuan.”

            Maksud dari pernyataan Ibnu Mubarak di atas adalah bahwasanya tingkatan adab lebih tinggi daripada ilmu, karenanya Ibnu Mubarak lebih menekankan seseorang lebih beradab meskipun sedikit (Mohamad Kholil, 2007).[2] Kaitannya dengan pendidikan yang di dalamnya terdapat aktifitas pembelajaran, bukan saja tentang transfer of knowledge yang sebatas menyambungkan ilmu pengetahuan, dari seorang guru kepada murid, namun juga transfer of value atau mewariskan nilai-nilai kebaikan, yang merupakan puncak dari ilmu itu sendiri yaitu akal budi, atau dalam bahasa keagamaan disebut sebagai akhlak (Ruslan Ibrahim, 2007).[3]

            Keteladanan kepribadian Nabi Muhammad Saw sebagai manusia nomor wahid di dunia ini, yang banyak mengilhami para tokoh dunia adalah bertumpu pada keteladanan akhlaknya, membawa ajaran perdamaian, menebar kasih dan sayang kepada sesama, serta selaras dengan semangat pembaharuan dalam dinamika perkembangan zaman. Hal ini benar-benar merupakan implementasi dari Q.S. Ibrahim (14:4) :

…ۖ لَهُمْ لِيُبَيِّنَ قَوْمِهِ بِلِسَانِ إِلَّا رَسُولٍ مِنْ أَرْسَلْنَا امَوَ 

                                    “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka…”

                                   

                                    Maksud “dengan bahasa kaumnya” di atas, dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan dengan sanad yang bersambung sampai Rasulullah Saw,[4] bahwa Allah Swt tidak sekali-kali mengutus seorang Rasul untuk suatu umat, melainkan Rasul tersebut berbicara dengan bahasa mereka (kaumnya). Setiap Rasul khusus menyampaikan risalahnya hanya kepada umatnya saja, bukan umat yang lainnya. Tetapi berbeda dengan Nabi Muhammad Saw, beliau memiliki keistimewaan dengan keumuman risalahnya yang mencakup semua manusia, karena memang beliau merupakan Penutup Para Nabi.                              

                      Maraknya fenomena immoral dalam dunia pendidikan (sekolah/madrasah) khususnya dari tingkat dasar sampai menengah atas, bukan karena menurunnya kualitas intelektual warga pendidikan, namun lebih karena menurunnya tingkat kesadaran warga pendidikan untuk memperkuat kompetensi diri yang mencakup sikap spriritual dan sosial, selain daripada meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilannya. Tuntutan zaman yang serba harus cepat (instan), efektif dan efisien nyatanya mampu merubah pola dan gaya hidup manusia sekarang ini, termasuk juga dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Hampir semua aktifitas pendidikan mulai dari sistem pengelolaan sampai pada proses pembelajaran, mulai bertransformasi dari konvensional menuju digital, sebagai efek nyata dari era globalisasi. Alih-alih berubah menuju ke kemajuan yang tetap menjunjung tinggi keadaban, justru transformasi ini berimplikasi pada perubahan cara pandang dan tindakan yang mengarah pada sikap individualis, eksklusif, intoleran bahkan memiliki kecenderungan revolusioner sempit atau radikal, yang pada akhirnya dikhawatirkan mengarah pada tindakan terorisme (Lili Sholehuddin, 2016).[5]

Berangkat dari realitas tersebut, tulisan ini disusun dengan membawa harapan dapat memberikan kontribusi kecil, sebagai upaya bersama melalui langkah-langkah preventif (pencegahan), dengan mempertemukan landasan teoritis yang bersifat epistimologi keilmuan dengan model praktis pencegahan melalui implementasi kebijakan pada lingkup lembaga pendidikan formal, termasuk non formal maupun informal, dengan narasi yang sederhana supaya lebih mudah dipahami bagi sekolah, madrasah, pondok pesantren, serta lembaga pendidikan keagamaan tertentu yang memerlukan tambahan referensi terkait.

 

Pembahasan

Institusi Pendidikan Dalam Pusaran Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme

Beberapa fenomena kemunduran dunia pendidikan di Indonesia dicitrakan dengan menurunnya kualitas dan penjagaan atas nilai-nilai moral, bisa disebutkan di sini diantaranya adalah tindakan intoleransi seperti bullying (perundungan), body shaming (olokan terhadap kekurangan cacat fisik) dan killing carachter (pembunuhan karakter). Radikalisme, baik dalam pemikiran, tindakan bahkan gerakan di tingkat pendidikan dasar dan menengah, menunjukkan data yang lumayan mencengangkan, bahkan yang lebih serius (ekstrim) adalah dilibatkannya anak dan remaja, dalam gerakan terorisme, seperti halnya yang terjadi pada tahun 2011 di Klaten, dimana 3 orang terduga teroris yang ditangkap masih berstatus sebagai pelajar.[6]

Hasil penelitian dari salah satu Pengurus BNPT Provinsi Sulawesi Tenggara, menunjukkan bahwa metamorfosa radikalisme pada simpul lembaga pendidikan di Sulawesi Tenggara, persebarannya melalui penetrasi gerakan di lembaga-lembaga pendidikan seperti di kampus-kampus dan di sekolah-sekolah, terutama di kampus umum dengan sasaran dosen dan mahasiswa melalui lembaga dakwah kemahasiswaan dengan melibatkan mahasiswa senior, dan di sekolah umum dengan sasaran guru dan siswa melalui ekstra kurikuler melibatkan siswa senior dengan metode cuci otak. Dosen sebagai Pengajar dan Pembina organisasi radikal, dengan metode indoktrinasi relatif lebih mudah memainkan peran penting dalam pertumbuhan radikalisme di lingkup kampus. Sedangkan guru berperan melalui hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi (La Ode Abdul Wahab, 2016).[7]

Beberapa kasus di atas, mengindikasikan betapa bahayanya benih-benih tindakan intoleransi, radikalisme bahkan terorisme (selanjutnya disingkat IRT) dalam setiap sendi lapisan masyarakat, khususnya lembaga pendidikan, jika terus dibiarkan. Upaya secara kontinyu, terstruktur, sistematis dan massif, dalam merancang strategi dan kebijakan sampai pada tahapan implementasi, untuk menghindarkan lembaga pendidikan supaya tidak ‘terkontaminasi’ dari paham dan gerakan IRT tersebut harus dilakukan oleh seluruh pihak, khususnya yang langsung bersinggungan dengan tata kelola lembaga pendidikan, yaitu guru, komite, orangtua siswa dan masyarakat sekitar dimana lembaga pendidikan bernaung. Bahkan lebih jauh, peranan pihak luar juga dibutuhkan semisal; lembaga eksekutif (Pemerintah Daerah melalui Kemendikbud), lembaga legislatif (DPR/DPRD), TNI-POLRI, bahkan LSM maupun OKP (Kemendikbud, 2018).[8]

Menakar Efektivitas Pendidikan Karakter Di Era Digital dan Post Pandemi

            Menarik disimak apa yang menjadi proyeksi dari Ketum GUPPI (Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam), Prof. Dr. Imam Tholkhah, dalam pidatonya di momentum Harlah GUPPI ke-71 bulan Maret 2021 yang lalu, beliau menyatakan bahwa perkembangan pendidikan di era peradaban digital dan post pandemi covid-19, terus mengalami transformasi dan pergerakan ke arah kemajuan yang sangat pesat, baik setuju atau tidak. Saat ini transformasi peradaban manusia telah memasuki era budaya teknologi tinggi, yang menjadikan budaya digital dan budaya virtual menjadi instrumen penting dalam pendidikan. Perkembangan peradaban itu terjadi, diantaranya karena adanya perkembangan budaya pemikiran dan pendidikan yang menghasilkan temuan-temuan baru pada berbagai bidang kehidupan, melalui inovasi dan eksperimentasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di antara perubahan dan perkembangan yang sangat cepat dewasa ini adalah perubahan dan perkembangan di bidang sains, teknologi dan sistem informasi digital. Mereka yang tidak mengikuti perkembangan peradaban ini, pada akhirnya akan ketinggalan, berjalan di tempat, bahkan mungkin juga akan terpinggirkan, tereksploitasi, dan bahkan juga akan terjajah dari aspek  budaya, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Penjajahan semacam itu secara cepat maupun lambat akan terjadi, dan bahkan pada beberapa aspek sudah terjadi. Mereka yang tertinggal ini akan menjadi sangat tergantung pola kehidupannya pada mereka yang memiliki kreativitas dan inovasi dalam melakukan transformasi sistem pendidikan ke arah kemajuan yang makin pesat.

Kondisi tersebut memiliki konsekuensi yang saling bertolak belakang, dapat disebutkan di sini yakni satu sisi kesadaran masyarakat dunia akan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara signifikan, namun di satu sisi yang lain, upaya penanaman nilai-nilai moral dan karakter berhadapan dengan kendala teknologi itu sendiri, mengingat pembiasaan nilai-nilai karakter berjalan secara efektif jika dilakukan secara langsung (tatap muka).

Namun, dalam situasi pandemic covid-19 dan era digital saat ini, yang telah mampu merubah pola komunikasi manusia dari cara konvensional (tatap muka langsung) ke cara digital (secara virtual; melalui perangkat media teknologi), bukan berarti manusia lalu menjadi insan yang menutup diri terhadap pergaulan luas, justru dalam kondisi seperti ini tiada lagi batas jarak dan waktu. Dengan kata lain, interaksi yang dulu hanya bisa dilakukan secara tatap muka dan harus berdekatan jarak, sekarang dapat dilakukan dengan cara tatap muka online (daring/virtual), sehingga dapat memangkas banyak waktu, serta bisa dilakukan secepat mungkin meski dengan jarak yang teramat jauh.

                                    Dengan kondisi seperti itu pula, ruang manusia dalam berinteraksi semakin luas bahkan bisa dibilang tanpa ada batas sama sekali. Kini, masyarakat di Indonesia bisa dengan sangat mudah, cepat dan murah mengakses informasi apapun tentang belahan dunia lain, begitu pula sebaliknya. Terlebih dalam dunia pendidikan, institusi pendidikan yang mampu bergerak luwes menangkap peluang perubahan zaman ini, sudah dapat dipastikan bahwa lembaganya akan bertumbuh kembang dan maju secara dinamis. Sebaliknya bagi institusi pendidikan yang berjalan kaku dan kering gerakan inovasinya, maka lambat laun akan ditinggalkan oleh masyarakat.

                                    Lembaga pendidikan saat ini hendaklah kembali kepada tujuan utamanya, sesuai amanat Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[9]

Salah satu tujuan pendidikan berdasarkan Undang-undang Sisdiknas tersebut adalah tercapainya kekuatan spiritual keagamaan, mampu mengendalikan diri, memiliki kepribadian, serta memiliki kecerdasan, akhlak dan keterampilan hidup, untuk kebaikan diri sendiri maupun masyarakat luas (M. Saekan Muchith, 2016).[10]

Pendidikan karakter yang dalam dua dasawarsa terakhir mulai diformalisasikan di Indonesia (Siti Patimah, 2012),[11] sejatinya merupakan komitmen kolektif yang bukan saja sekedar gerakan wacana, dan tidak hanya dipahami sebatas pijakan teoritis tanpa makna, sehingga tidak mampu menjadi gerakan solutif atas setiap persoalan mereduksinya nilai-nilai moral di masyarakat, khususnya di lembaga pendidikan.

 Kenyataannya, jika kita semua mencermati bagaimana kondisi pergaulan generasi muda sekarang ini, apalagi dunia harus beradaptasi dengan situasi pandemi covid-19 yang masih belum diketahui dimana ujung penyelesaiannya nanti, maka menjadi pilihan wajib bagi semua kalangan masyarakat, khususnya bagi pihak pengelola lembaga pendidikan untuk mereformulasi dan memastikan bagaimana pendidikan karakter benar-benar tetap terintegrasi dalam aktivitas pendidikan di era digital ini. Sehingga substansinya tetap terpelihara dan hidup menyatu dalam laku setiap warga pendidikan khususnya, sebagai salah satu upaya pencegahan dini institusi pendidikan, dalam menangkal laju derasnya arus pemikiran dan gerakan IRT.


Institusi Pendidikan Menangkal Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme

Penerapan pendidikan karakter serta empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) oleh institusi pendidikan dalam menangkal laju gerakan IRT, sangat tidak cukup hanya disampaikan secara teoritik melalui penyampaian gagasan maupun wacana, melalui proses pembelajaran dalam kelas saja. Dibutuhkan strategi gerakan yang lebih mengena, dengan melakukan inovasi dan kreatifitas program yang terstruktur, sistematis serta berhaluan target yang jelas. Seluruh elemen lembaga pendidikan harus terjun secara langsung dalam mengawal gerakan-gerakan preventif (pencegahan) ini, kebijakan yang diambil harus seiring sejalan dengan sistem top-down serta bottom-up, sehingga betul-betul bisa menutup rapat-rapat celah masuknya paham IRT dalam institusi pendidikan tersebut secara menyeluruh, beberapa langkah berikut merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan, diantaranya :

a.   Re-Assesment, Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pimpinan, Tenaga Pendidik dan Kependidikan

Tidak dapat dipungkiri bahwa, cerminan kualitas/mutu sebuah institusi/lembaga pendidikan adalah bagaimana kurikulum pendidikan dan pembelajaran dikembangkan serta diajarkan melalui proses pembelajaran. Sedangkan, pengendali, pelaksana dan pengembang kurikulum tersebut adalah terletak pada sumberdaya manusianya, yaitu pimpinan dengan segenap tenaga pendidik dan kependidikannya.

Menentukan kedudukan mutu sumberdaya manusia dalam sebuah institusi/lembaga pendidikan, harus dilakukan sejak awal melalui Pertama; program assesment. Program ini menjadi kewajiban dengan tujuan untuk mengidentifikasi kompetensi komprehensif sumberdaya manusia, dan memberikan paparan petunjuk data awal terkait latar belakang (background) seorang pimpinan (Kepala Sekolah/Madrasah), Tenaga Pendidik dan Kependidikan. Latar belakang ini bukan saja dilihat dari aspek; basic disiplin keilmuannya saja, namun lebih dari itu, potensi relasi keilmuan/pemikiran-gerakan dan sosialnya juga, yang mencerminkan bagaimana dan dengan siapa saja obyek yang diassesment tersebut berinteraksi. Sehingga, sedari awal sudah dapat diketahui corak pemikiran, tindakan dan gerakannya pada waktu-waktu selanjutnya.

Secara teknis proses/tahapan assesment ini jika di institusi/lembaga pendidikan negeri, maka harus diinisiasi oleh lembaga resmi pemerintah yang menaungi langsung, semisal Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi untuk Sekolah Umum, dan Kementerian Agama untuk Sekolah Berbasis Keagamaan/Madrasah Negeri. Sementara di institusi/lembaga pendidikan swasta (yang dikelola oleh masyarakat), proses assesment ini harus diinisiasi oleh Yayasan sebagai lembaga penyelenggara layanan publik pada sektor pendidikan.

Kedua; Monitoring adalah tahapan selanjutnya, dilakukan secara berkala, proses ini bertujuan sebagai media identifikasi terhadap kedisiplinan dan kualitas kerja seorang pimpinan instansi/lembaga pendidikan (Kepala Sekolah/Madrasah) beserta segenap tenaga pendidik dan kependidikannya. Amanat konstitusi yang menghendaki kehidupan yang harmonis, dengan menjunjung nilai-nilai moderasi kehidupan dan beragama dijalankan dan dikembangkan di instansi/lembaga pendidikan. Pada akhirnya, proses monitoring ini menjadi platform baku untuk selalu dilakukan secara tertib. Pun, jika pada akhirnya melalui proses monitoring ini ditemukan indikasi-indikasi penyalahgunaan wewenang tugas, baik secara administratif prosedural, sampai pada pemikiran-tindakan dan gerakan yang membahayakan integritas kebangsaan di instansi/lembaga pendidikan tersebut, maka hal tersebut dilimpahkan pada tahapan selanjutnya yakni evaluasi.

Ketiga; Evaluasi, yang menjadi pintu awal dalam menangani setiap permasalahan maupun kejadian yang muncul pada tahapan monitoring, sehingga ada efek dari proses evaluasi tersebut, diantaranya; Reward atau penghargaan atas prestasi kinerja, berdasarkan ketentuan internal dari instansi/lembaga pendidikan tersebut. Sedangkan Punishment atau sanksi/hukuman diberikan atas pelanggaran kinerja yang dilakukan. Sanksi ini diberikan sesuai bobot pelanggaran, dapat berupa teguran/pembinaan, sanksi administratif, sanksi sosial, penonaktifan kerja, sampai dikeluarkan dari instansi/lembaga pendidikan.

b.   Supervisi Implementasi Kurikulum   

Dewasa ini, memaknai kurikulum tidak bisa hanya dikaitkan dengan persoalan perangkat pembelajaran saja dengan mengesampingkan aspek lainnya, namun lebih luas daripada itu, kurikulum adalah kumpulan seperangkat nilai yang dirancang untuk ditransformasikan kepada subjek didik, baik nilai-nilai dalam bentuk kognitif, afektif maupun psikomotorik, sehingga terbentuk pola pikir dan perilaku subjek didik (tenaga pendidik dan kependidikan, peserta didik dan orangtua peserta didik), sesuai dengan visi misi dari tujuan pendidikan secara makro (Syamsul Bahri, 2011).[12]

Namun, hakikat kurikulum tersebut seperti halnya fungsi dan tujuan dari sebuah alat. Ibarat pisau yang tajam, akan menjadi alat yang membahayakan jika yang menggunakannya adalah seorang yang memiliki karakter tidak baik. Namun berbeda jika pisau tajam tersebut dipergunakan oleh orang yang baik dan bertanggungjawab, fungsi dan tujuan dibuatnya pisau sudah pasti diarahkan untuk kepentingan yang baik pula, semisal mempermudah aktifitas memasak, pertukangan maupun aktifitas harian lainnya.

Begitu pula dengan kurikulum, sebaik apapun rancangan dan konsepnya, jika diamanahkan kepada pengelola pendidikan yang minim inovasi, kreatifitas serta tidak memiliki visi misi kemajuan, atau dengan kata lain pengelola pendidikan yang memiliki karakter selalu ingin berada di zona nyaman, maka kurikulum tersebut tidak ubahnya dengan rangkaian teori yang dijilid menjadi sebuah buku, tanpa pernah mau dibaca, dikaji, diterapkan serta dikembangkan substansinya.

Guna memastikan instansi/lembaga pendidikan menerapkan pengembangan kurikulum dengan tertib sesuai amanat sistem pendidikan nasional, khususnya berkaitan dengan penguatan ideologi negara yang terintegrasi ke dalam aktifitas pembelajaran, sebagai langkah efektif menangkal arus IRT, maka pendampingan dalam bentuk supervisi secara massif dan berkala menjadi keharusan atau wajib dilakukan oleh seluruh pimpinan instansi/lembaga pendidikan.

Kepala Sekolah/Madrasah sebagai pemimpin dalam sebuah instansi/lembaga pendidikan, memiliki tugas pokok salah satunya adalah sebagai Supervisor (Pengawas/Pengarah) bagi tenaga pendidik dan kependidikan yang dipimpinnya, untuk meningkatkan kompetensi diri supaya semakin profesional dalam tugas (Muslimatun, 2021).[13] Sebagai Supervisor, Kepala Sekolah/Madrasah harus memastikan bahwa seluruh tenaga pendidik dan kependidikannya, serta peserta didik dan orangtua peserta didik, tidak ‘terkontaminasi’ oleh paham dan gerakan IRT, baik dalam tugas dan fungsi teknisnya masing-masing maupun dalam interaksi pergaulannya.

Secara teknis, seperti halnya apa yang diterapkan di Madrasah Terpadu Yayasan Ummusshabri Kendari (PAUD-MI-MTs dan MA),[14] menjadi salah satu langkah kebijakan yang bisa juga diterapkan di instansi/lembaga pendidikan lainnya, khususnya berkaitan dengan penegasan sikap secara institusi terhadap paham dan gerakan IRT. Kuncinya adalah pada ketekunan Kepala Sekolah/Madrasah dalam melakukan supervisi. Supervisi secara berkala bukan saja pada bagian kompetensi mengajarnya, namun juga berangkat dari pengecekan secara berkala dan terukur, terhadap materi ajar melalui kesesuaian isi buku mata pelajaran dengan penyampaian materi pembelajaran dalam kelas, perangkat pembelajarannya, kegiatan-kegiatan akademik maupun non akademik semisal ekstra kurikuler yang dilakukan dan dikembangkan oleh tenaga pendidik di luar jam pembelajaran efektif, sampai pada pola komunikasi maupun interaksi di komunitas konvensional maupun digital, yang dibangun oleh tenaga pendidik bersama dengan para orangtua dan peserta didik, semisal grup-grup kelas melalui aplikasi Whatsapp, Telegram dan berbagai aplikasi media sosial lainnya. Tidak mengapa Kepala Sekolah/Madrasah menjadi anggota atau bagian dari grup-grup tersebut, sebagai upaya untuk mengawasi dan mengontrol arah dan pola komunikasi yang terjadi, supaya jika ditemukan adanya pembahasan yang mengarah pada paham dan gerakan IRT dapat dengan cepat dan mudah diantisipasi (Bambang Suprayitno, 2021).[15]

Supervisi yang dilakukan dengan sistematika yang baik melalui tugas pokok seorang Kepala Sekolah/Madrasah tersebut, menjadikan celah-celah kesempatan arus dan laju persebaran paham dan gerakan IRT di instansi/lembaga pendidikan semakin mengecil.

c.    Menumbuhkan Paham Wasathiyah Dalam Pendidikan Inklusif   

Menjadi pemahaman umum bahwa, IRT di Indonesia bermula dari sistem yang dikondisikan oleh sekelompok orang maupun individu yang memiliki nalar penolakan terhadap keilmuan ilmiah dan Pancasila, melalui indoktrinasi secara massif dengan pola brainwash atau pencucian otak (Oki Wahyu Budijanto dkk, 2021).[16]

Negara melalui perangkatnya yaitu Pemerintah dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten bersama dengan seluruh elemen masyarakat khususnya warga intelektual dalam hal ini adalah subjek pendidikan, harus melakukan langkah antisipasi pencegahan secara terstruktur, massif dan sistematis dengan cara membuka ruang-ruang diskusi keagamaan dan keilmuan ilmiah yang lebih terbuka, dan membuka ruang dialog yang berperspektif HAM. Hal yang demikian menjadi penting mengingat eksklusifisme yang dibangun oleh kelompok radikalis ini sangat berbahaya, apabila mereka selalu berdialog dengan sesama komunitas mereka sendiri.[17] Salah satu strategi yang dipandang efektif adalah dengan menumbuhkan paham dan gerakan pendidikan Islam Wasathiyah dan Pendidikan Inklusif.

Tidak bermaksud membuat perbandingan secara etimologi (harfiah) maupun terminologi (istilah kontekstual), antara Paham Wasathiyah yang lebih bercirikan pada dunia keIslaman (Agus Zaenul Fitri, 2015);[18] dengan gerakan Inklusif yang diidentikkan dengan lingkup yang lebih plural, umum dan meluas (Zaenal Alimin, 2011).[19] Namun, dalam persoalan membendung paham IRT di Indonesia khususnya di lingkup dunia pendidikan, perlu kita semua mendudukkannya pada tataran substansi paham dan gerakannya, sehingga menumbuhkan pemahaman dan pola pikir yang lebih kritis dan komprehensif.

Sejatinya, paham dan gerakan pendidikan Islam Wasathiyah dengan pendidikan Inklusif sama-sama mengusung semangat terhadap wadah yang bernama lembaga pendidikan, untuk secara tegas konsisten dalam mengemban visi, misi serta tujuannya dalam membina manusia, dan membawanya ke arah masa depan yang lebih baik (Marlina Gazali, 2013).[20] Hal ini juga sejalan dengan bahasa pengantar (Ahmad Hadadi, 2017)[21],  bahwa lembaga pendidikan haruslah mengedepankan keterbukaan, sikap menghargai untuk merangkul perbedaan atau keragaman, tidak diskriminatif, ramah terhadap semua individu subjek didik, tanpa melihat perbedaan agama, ras, suku, gender, bahasa dan kemampuan.

Pada ranah yang lebih riil di Sulawesi Tenggara, Madrasah Terpadu Yayasan Ummusshabri Kendari, sebagai lembaga pendidikan yang memiliki basis keunggulan pada tafaqquh fid diin dan pengembangan sains-nya, dalam satu dasawarsa terakhirnya (2010 – sekarang), telah berkomitmen membuka diri terhadap interaksi global. Hal ini dibuktikan dengan penerapan multikurikulum, yakni; memadukan kurikulum nasional (mata pelajaran umum), kurikulum salaf/pondok pesantren (kajian Kutub at-Turats dan mata pelajaran rumpun keagamaan) dengan kurikulum internasional (bahasa Inggris dan sains).

Sistem pengembangan di lembaga pendidikan Ummusshabri tersebut, sejalan dengan implementasi dari kaidah ushul fiqih yang populer di dunia pondok pesantren, yaitu:

الأَصْلَحِ باِلجَدِيْدِ وَالأَخْذُ الصَالِحِ القَدِيْمِ عَلَى المحُاَفَظَةُ

“Mempertahankan/melestarikan khazanah/tradisi lama yang baik, dan mengambil khazanah/nilai-nilai baru (inovasi) yang lebih baik”.

Adanya Native Speaker (Penutur Asli) sebagai upaya mempermantap pembiasaan berbahasa asing bagi guru dan siswa, membuka akses lembaga terhadap pergaulan global, dengan membangun kerjasama internasional bersama sekolah atau lembaga pendidikan di luar negeri, serta menerapkan sistem pembelajaran dengan mengedepankan pengamalan ilmu (sains) dan pengetahuan (knowing) melalui pola pembiasaan, menghendaki peserta didik untuk tidak hanya mempelajari dan memahami kaidah dasar keagamaan dari satu literatur madzhab, ataupun satu perspektif dasar keilmuan saja. Hal tersebut mengarahkan subjek didik untuk memiliki pola pikir dan tindakan yang lebih terbuka dalam perbedaan, berani mengeksplorasi keilmuan secara ilmiah dengan lebih mendalam dan luas, kritis dalam memecahkan setiap persoalan kehidupan, dinamis serta substantif (Mohamad Anwar, 2021).[22]

Karena pada akhirnya, paham dan gerakan eksklusifisme yang bermetamorfosa menjadi sikap intoleran, radikalisme dalam arti konotasi yang negatif; kaku, berlebihan dan mengarah kepada ancaman serta tindakan kekerasan,[23] yang pada akhirnya berubah menjadi teror. Haruslah dilawan dengan paham dan gerakan yang inklusif, yang mengedepankan platform dialogis-ilmiah-kontekstual dan substantif, keterbukaan, kesetaraan dalam status sosial bermasyarakat, dan saling menghargai dalam perbedaan. Melalui ruang kunci peradaban manusia, yaitu institusi/lembaga pendidikan.


Penutup

Kesimpulan

                        Institusi atau Lembaga Pendidikan sebagai wadah tumpuan utama dalam membentuk bangunan peradaban umat manusia, haruslah terhindarkan dari sistem konstruksi pemikiran, paham dan gerakan yang membahayakan integritas kebangsaan dan kemanusiaan, yang berlandaskan pada nilai-nilai keTuhanan, kemanusiaan dan keberadaban. Paham dan gerakan intoleransi, radikalisme dan terorisme (IRT) nyatanya menjadi ancaman laten terhadap tujuan mulia pendidikan tersebut.

                        Langkah antisipatif strategis wajib dilakukan secara terstruktur, massif dan sistematis dari Pemerintah sampai ke Pengelola instansi/lembaga pendidikan (Kepala Sekolah/Kepala Madrasah), sebagai bagian dari upaya preventif (pencegahan), dalam menangkal paham tersebut masuk lebih dalam di lembaga pendidikan, tidak ada celah sekecil dan sedikitpun terhadap potensi persebaran paham dan gerakan tersebut. Mengingat paham dan gerakan IRT di post pandemi covid-19 dan digital ini bisa masuk dari segala aktifitas, bahkan sampai pada gerakan penggiringan opini melalui sebaran pemikiran melalui tulisan baik di media cetak sampai media sosial.

                        Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah diantaranya :

1.     Re-Assesment, Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pimpinan, Tenaga Pendidik dan Kependidikan. Sumber daya manusia yang mengelola instansi/lembaga pendidikan haruslah dipastikan ‘bibit-bebet dan bobot-nya’.

Pendeteksian sejak awal terhadap sumberdaya manusia pengelola instansi/lembaga pendidikan dilakukan melalui Re-assesment, yang ditujukan sebagai platform identifikasi guna mengukur kompetensi komprehensif seluruh pengelola instansi/lembaga pendidikan, dari Kepala Sekolah/Madrasah, sampai Tenaga Pendidik dan Kependidikan. Re-assesment terhadap Kepala Sekolah/Madrasah Negeri dilakukan oleh Pemerintah bisa melalui Dinas terkait yang menaungi langsung (Kemendikbudristek/Kemenag), sedangkan untuk Kepala Sekolah/Madrasah Swasta dapat dilakukan oleh Yayasan yang menaungi instansi/lembaga tersebut. Untuk tenaga pendidik dan kependidikan, re-assesment dapat dilakukan oleh Kepala Sekolah/Madrasah.   

Monitoring,  proses ini wajib dilakukan meskipun secara berkala. Karena untuk dapat melihat proses pengelolaan terpapar paham dan gerakan IRT adalah berada di tahapan ini. Dari proses monitoring ini, gejala-gejala kontaminasi IRT dilanjutkan pada tahapan selanjutnya, yaitu Evaluasi atas kinerja pengelola pendidikan. Pada tahapan evaluasi semua permasalahan yang terjadi, khususnya terkait paparan paham dan gerakan IRT selama proses monitoring dijabarkan, untuk ditentukan jenis penindakan mulai teguran/pembinaan, sanksi administratif, sanksi sosial, penonaktifan kerja, sampai dikeluarkan dari instansi/lembaga pendidikan.

2.     Supervisi atau pengawasan dan kontrol yang dilakukan dengan sistematika yang baik dan terukur melalui tugas pokok seorang Kepala Sekolah/Madrasah, pada semua aktivitas akademik maupun non akademik, merupakan upaya untuk menutup celah-celah kesempatan arus dan laju persebaran paham dan gerakan IRT di instansi/lembaga pendidikan.

3.     IRT masuk ke instansi/lembaga pendidikan dengan pergerakan yang eksklusif dan non-dialog, sehingga paham dan gerakan ini harus dilawan dengan sistem yang bertolak belakang, salah satunya adalah dengan menumbuhkan paham dan gerakan pendidikan Islam Wasathiyah, yang menghendaki bagi para pegiatnya untuk memiliki haluan dakwah yang lebih ramah. Serta pendidikan Inklusif yang merupakan konsensus internasional, dan menjadi kiblat atau standar model pendidikan yang mengakomodir seluruh potensi keragaman subjek didik, bukan saja pada aspek kognitif semata, namun secara luas mencakup seluruh aspek hak asasi manusia itu sendiri, dengan tetap menjunjung tinggi batasan-batasan normatif sosial maupun substansi keagamaan.  

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Nata, Abuddin, (2010), Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana).

Kholil, Mohamad, (2007), Etika Pendidkan Islam Petuah KH.M.Hasyim Asy‟ari untuk Para Guru (Kyai) dan Murid (Santri), (Yogyakarta: Titian Wacana).

Ibrahim, Ruslan, (2007), “Pendidikan Nilai Dalam Era Pluralisasi”, Jurnal INSANIA, P3M STAIN Purwokerto.

Sholehuddin, Lili, (2016), Pendidikan Afektif; Membangun Karakter Anak Bangsa Berakhlak Mulia (Studi Kasus Pada Pendidikan Tingkat Dasar) (Jakarta: Transwacana).

Abdul Wahab, Laode, (November 2016), Metamorfosa Radikalisme pada Lembaga Pendidikan di Sulawesi Tenggara, Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-35 Th. XXII.

Kemendikbud, (2018), Menangkal Radikalisme dalam Pendidikan, (Jakarta: Puslitjakdikbud).

Undang-undang RI  Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).

Muchith, M. Saekan, (2016), “Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan”, Dalam Jurnal Addin Ilmu Sosial dan Keagamaan”, Vol. 10, No. 1, Februari (Kudus: STAIN Kudus).

Patimah, Siti, (2012/1433), Formalisme Pendidikan Karakter Di Indonesia, Jurnal IAIN Raden Intan Lampung, Vol. XVII No. 1.

Bahri, Syamsul, (Agustus 2011), Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya, Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA, Volume XI, No. 1.

Muslimatun, (2021), Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Dalam Menngkatkan Kompetensi Profesional Guru Di MTs Darul Huda Mayak Ponorogo, Tesis. (Ponorogo: IAIN Ponorogo.

Dokumen Peraturan Kepegawaian Yayasan Ummusshabri Kendari, (Maret 2020), Bab VII, Pasal 51.

Budijanto, Oki Wahyu dkk, (April 2021), Pencegahan Paham Radikalisme Melalui Optimalisasi Pendidikan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal HAM, Volume 12, Nomor 1.

Fitri, Agus Zaenul, (Juni 2015), Pendidikan Islam Wasathiyah: Melawan Arus Pemikiran Takfiri Di Nusantara, Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 1.

Alimin, Zaenal, (2011), Paradigma Pendidikan Inklusif Sebagai Upaya Memperluas Akses dan Perbaikan Mutu Pendidikan, JASSI_Anakku, Volume 10: Nomor 1.

Gazali, Marlina, (Januari-Juni 2013), Optimalisasi Peran Lembaga Pendidikan Untuk Mencerdaskan Bangsa, Jurnal Al-Ta’dib, Vol. 6 No. 1.

Buku Panduan untuk Pelaksana Program, (2017), Pendidikan Inklusif: Apa, Mengapa dan Bagaimana, (Bandung: IDEAL Project).

 

Link/Web:

https://m.tempo.co/read/news/2011/01/27/063309390/enam-terduga-teroris-klaten-dari-satu-sekolah

Tafsir Ibnu Katsir Versi Lengkap: 14. SURAH IBRAHIM (belajartafsiralquran.blogspot.com)



[1]Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 14.

[2] Mohamad Kholil, Etika Pendidkan Islam Petuah KH.M.Hasyim Asy‟ari untuk Para Guru (Kyai) dan Murid (Santri), (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007), hlm. xvii.

[3] Ruslan Ibrahim. “Pendidikan Nilai Dalam Era Pluralisasi”, Jurnal INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, 2007, h. 5.

[5] Lili Sholehuddin, Pendidikan Afektif; Membangun Karakter Anak Bangsa Berakhlak Mulia (Studi Kasus Pada Pendidikan Tingkat Dasar) (Jakarta: Transwacana, 2016), h. 2-3.

[7] Laode Abdul Wahab, Metamorfosa Radikalisme pada Lembaga Pendidikan di Sulawesi Tenggara, Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-35 Th. XXII, November 2016, h. 70. 

[8] Kemendikbud, Menangkal Radikalisme dalam Pendidikan, (Jakarta: Puslitjakdikbud, 2018), h. 131.

[9]  Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

[10] M. Saekan Muchith, “Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan”, Dalam Jurnal Addin Ilmu Sosial dan Keagamaan”, Vol. 10, No. 1, Februari (Kudus: STAIN Kudus, 2016), h. 167-168.

[11] Siti Patimah, Formalisme Pendidikan Karakter Di Indonesia, Jurnal IAIN Raden Intan Lampung, Vol. XVII No. 1 2012/1433, h. 117.

[12] Syamsul Bahri, Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya, Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA, Volume XI, No. 1, Agustus 2011, h. 19-20.

[13] Muslimatun, Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Dalam Menngkatkan Kompetensi Profesional Guru Di MTs Darul Huda Mayak Ponorogo, Tesis. (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2021), h. 46-49.

[14] Dokumen Peraturan Kepegawaian Yayasan Ummusshabri Kendari, Bab VII, Pasal 51, Maret 2020, h. 22-23.

[15] Bambang Suprayitno. Koordinator Pogram CIBI-CIBER Madrasah Terpadu Ummusshabri Kendari. Wawancara. Kendari, 15 April 2021.

[16] Oki Wahyu Budijanto dkk, Pencegahan Paham Radikalisme Melalui Optimalisasi Pendidikan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal HAM, Volume 12, Nomor 1, April 2021, h. 63.

[17] Oki Wahyu Budijanto dkk, Pencegahan Paham Radikalisme..., h. 63. 

[18] Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Islam Wasathiyah: Melawan Arus Pemikiran Takfiri Di Nusantara, Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 1, Juni 2015, h. 48. Pendidikan Islam Wasathiyah memiliki arti pendidikan yang memadukan antara teks Al-Qur’an dan konteks atau realita yang ada seiring dengan perkembangan zaman.

[19] Zaenal Alimin, Paradigma Pendidikan Inklusif Sebagai Upaya Memperluas Akses dan Perbaikan Mutu Pendidikan, JASSI_Anakku, Volume 10: Nomor 1 Tahun 2011, h. 73. Pendidikan Inklusif menjadi pembahasan internasional, dan menjadi konsensus oleh 55 partisipan dari 23 negara di Agra, India. Disetujui bahwa substansinya sekolah seharusnya mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial-emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak disabilitas, anak-anak berbakat, anak-anak jalanan, anak-anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari masyarakat.

[20] Marlina Gazali, Optimalisasi Peran Lembaga Pendidikan Untuk Mencerdaskan Bangsa, Jurnal Al-Ta’dib, Vol. 6 No. 1 Januari-Juni 2013, h. 128.

[21] Buku Panduan untuk Pelaksana Program, Pendidikan Inklusif: Apa, Mengapa dan Bagaimana, (Bandung: IDEAL Project, 2017), h. 8.

[22] Mohamad Anwar. Humas Yayasan Ummusshabri Kendari. Wawancara. Kendari, 2 Desember 2021.

[23] Oki Wahyu Budijanto dkk, Pencegahan Paham Radikalisme..., h. 62.