Institusi
Pendidikan Menangkal Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme
Agus Sugito
Pendahuluan
Pendidikan
merupakan ruang publik yang sangat asasi (mendasar), bahkan menjadi tumpuan
utama dalam membentuk bangunan peradaban umat manusia, dimana indikator penggerak
dan pengembang peradaban bukan saja dari aspek kemegahan fisik semata, namun justru
yang paling berperan penting adalah akal budi, yang berfungsi sebagai remote control, pusat kendali kemana dan
bagaimana ilmu pengetahuan bisa memiliki nilai manfaat dan keberkahan untuk
kehidupan manusia. Al-Attas dalam (Abuddin Nata, 2010), memaknai pendidikan
sebagai sarana transformasi nilai-nilai akhlak mulia, yang bersumber pada
ajaran agama ke dalam diri manusia, serta menjadi dasar bagi terjadinya proses
Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan ini menurutnya perlu
dilakukan dalam rangka membendung pengaruh materialisme, sekularisme, dan
dikotomisme ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Barat.[1]
Dengan demikian, adab (ta’dib) bisa
juga diartikan sebagai upaya penanaman nilai-nilai akhlak yang baik bagi
seorang guru kepada para muridnya. Ibnu al-Mubarak Ra.menyatakan:
“Mempunyai
adab (kebaikan budi pekerti) meskipun sedikit adalah lebih kami butuhkan
daripada (memiliki) banyak ilmu pengetahuan.”
Maksud
dari pernyataan Ibnu Mubarak di atas adalah bahwasanya tingkatan adab lebih
tinggi daripada ilmu, karenanya Ibnu Mubarak lebih menekankan seseorang lebih
beradab meskipun sedikit (Mohamad Kholil, 2007).[2]
Kaitannya dengan pendidikan yang di dalamnya terdapat aktifitas pembelajaran, bukan
saja tentang transfer of knowledge yang
sebatas menyambungkan ilmu pengetahuan, dari seorang guru kepada murid, namun
juga transfer of value atau
mewariskan nilai-nilai kebaikan, yang merupakan puncak dari ilmu itu sendiri
yaitu akal budi, atau dalam bahasa keagamaan disebut sebagai akhlak (Ruslan
Ibrahim, 2007).[3]
Keteladanan kepribadian Nabi Muhammad Saw sebagai
manusia nomor wahid di dunia ini, yang banyak mengilhami para tokoh dunia adalah
bertumpu pada keteladanan akhlaknya, membawa ajaran perdamaian,
menebar kasih dan sayang kepada sesama, serta selaras dengan semangat
pembaharuan dalam dinamika perkembangan zaman. Hal ini benar-benar merupakan
implementasi dari Q.S. Ibrahim (14:4) :
…ۖ
لَهُمْ لِيُبَيِّنَ قَوْمِهِ بِلِسَانِ إِلَّا رَسُولٍ مِنْ أَرْسَلْنَا امَوَ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka…”
Maksud
“dengan bahasa kaumnya” di atas, dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan dengan
sanad yang bersambung sampai Rasulullah Saw,[4]
bahwa Allah Swt tidak sekali-kali mengutus seorang Rasul untuk suatu umat,
melainkan Rasul tersebut berbicara dengan bahasa mereka (kaumnya). Setiap Rasul
khusus menyampaikan risalahnya hanya kepada umatnya saja, bukan umat yang
lainnya. Tetapi berbeda dengan Nabi Muhammad Saw, beliau memiliki keistimewaan
dengan keumuman risalahnya yang mencakup semua manusia, karena memang beliau
merupakan Penutup Para Nabi.
Maraknya
fenomena immoral dalam dunia
pendidikan (sekolah/madrasah) khususnya dari tingkat dasar sampai menengah
atas, bukan karena menurunnya kualitas intelektual warga pendidikan, namun
lebih karena menurunnya tingkat kesadaran warga pendidikan untuk memperkuat
kompetensi diri yang mencakup sikap spriritual dan sosial, selain daripada
meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilannya. Tuntutan zaman yang
serba harus cepat (instan), efektif dan efisien nyatanya mampu merubah pola dan
gaya hidup manusia sekarang ini, termasuk juga dalam pengelolaan lembaga
pendidikan. Hampir semua aktifitas pendidikan mulai dari sistem pengelolaan
sampai pada proses pembelajaran, mulai bertransformasi dari konvensional menuju
digital, sebagai efek nyata dari era globalisasi. Alih-alih berubah menuju ke kemajuan yang tetap menjunjung tinggi
keadaban, justru transformasi ini berimplikasi pada perubahan cara pandang dan
tindakan yang mengarah pada sikap individualis, eksklusif, intoleran bahkan
memiliki kecenderungan revolusioner sempit atau radikal, yang pada akhirnya
dikhawatirkan mengarah pada tindakan terorisme (Lili Sholehuddin, 2016).[5]
Berangkat dari realitas tersebut, tulisan ini
disusun dengan membawa harapan dapat memberikan kontribusi kecil, sebagai upaya
bersama melalui langkah-langkah preventif (pencegahan), dengan mempertemukan
landasan teoritis yang bersifat epistimologi keilmuan dengan model praktis pencegahan
melalui implementasi kebijakan pada lingkup lembaga pendidikan formal, termasuk
non formal maupun informal, dengan narasi yang sederhana supaya lebih mudah
dipahami bagi sekolah, madrasah, pondok pesantren, serta lembaga pendidikan
keagamaan tertentu yang memerlukan tambahan referensi terkait.
Pembahasan
Institusi
Pendidikan Dalam Pusaran Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme
Beberapa fenomena kemunduran dunia pendidikan di
Indonesia dicitrakan dengan menurunnya kualitas dan penjagaan atas nilai-nilai
moral, bisa disebutkan di sini diantaranya adalah tindakan intoleransi seperti bullying (perundungan), body shaming (olokan terhadap kekurangan
cacat fisik) dan killing carachter
(pembunuhan karakter). Radikalisme, baik dalam pemikiran, tindakan bahkan
gerakan di tingkat pendidikan dasar dan menengah, menunjukkan data yang lumayan
mencengangkan, bahkan yang lebih serius (ekstrim) adalah dilibatkannya anak dan
remaja, dalam gerakan terorisme, seperti halnya yang terjadi pada tahun 2011 di
Klaten, dimana 3 orang terduga teroris yang ditangkap masih berstatus sebagai
pelajar.[6]
Hasil penelitian dari salah satu Pengurus BNPT
Provinsi Sulawesi Tenggara, menunjukkan bahwa metamorfosa radikalisme pada
simpul lembaga pendidikan di Sulawesi Tenggara, persebarannya melalui penetrasi
gerakan di lembaga-lembaga pendidikan seperti di kampus-kampus dan di
sekolah-sekolah, terutama di kampus umum dengan sasaran dosen dan mahasiswa
melalui lembaga dakwah kemahasiswaan dengan melibatkan mahasiswa senior, dan di
sekolah umum dengan sasaran guru dan siswa melalui ekstra kurikuler melibatkan
siswa senior dengan metode cuci otak. Dosen sebagai Pengajar dan Pembina
organisasi radikal, dengan metode indoktrinasi relatif lebih mudah memainkan
peran penting dalam pertumbuhan radikalisme di lingkup kampus. Sedangkan guru
berperan melalui hidden curriculum
atau kurikulum tersembunyi (La Ode Abdul Wahab, 2016).[7]
Beberapa kasus di atas, mengindikasikan betapa
bahayanya benih-benih tindakan intoleransi, radikalisme bahkan terorisme
(selanjutnya disingkat IRT) dalam setiap sendi lapisan masyarakat, khususnya
lembaga pendidikan, jika terus dibiarkan. Upaya secara kontinyu, terstruktur,
sistematis dan massif, dalam merancang strategi dan kebijakan sampai pada
tahapan implementasi, untuk menghindarkan lembaga pendidikan supaya tidak
‘terkontaminasi’ dari paham dan gerakan IRT tersebut harus dilakukan oleh
seluruh pihak, khususnya yang langsung bersinggungan dengan tata kelola lembaga
pendidikan, yaitu guru, komite, orangtua siswa dan masyarakat sekitar dimana
lembaga pendidikan bernaung. Bahkan lebih jauh, peranan pihak luar juga
dibutuhkan semisal; lembaga eksekutif (Pemerintah Daerah melalui Kemendikbud),
lembaga legislatif (DPR/DPRD), TNI-POLRI, bahkan LSM maupun OKP (Kemendikbud,
2018).[8]
Menakar
Efektivitas Pendidikan Karakter Di Era
Digital dan Post Pandemi
Menarik
disimak apa yang menjadi proyeksi dari Ketum GUPPI (Gerakan Usaha Pembaharuan
Pendidikan Islam), Prof. Dr. Imam Tholkhah, dalam pidatonya di momentum Harlah
GUPPI ke-71 bulan Maret 2021 yang lalu, beliau menyatakan bahwa perkembangan
pendidikan di era peradaban digital dan post
pandemi covid-19, terus mengalami transformasi dan pergerakan ke arah kemajuan
yang sangat pesat, baik setuju atau tidak. Saat ini transformasi peradaban
manusia telah memasuki era budaya teknologi tinggi, yang menjadikan budaya
digital dan budaya virtual menjadi instrumen penting dalam pendidikan.
Perkembangan peradaban itu terjadi, diantaranya karena adanya perkembangan
budaya pemikiran dan pendidikan yang menghasilkan temuan-temuan baru pada
berbagai bidang kehidupan, melalui inovasi dan eksperimentasi ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Di antara perubahan dan perkembangan yang sangat
cepat dewasa ini adalah perubahan dan perkembangan di bidang sains, teknologi
dan sistem informasi digital. Mereka yang tidak mengikuti perkembangan
peradaban ini, pada akhirnya akan ketinggalan, berjalan di tempat, bahkan
mungkin juga akan terpinggirkan, tereksploitasi, dan bahkan juga akan terjajah
dari aspek budaya, ekonomi, sosial,
politik, dan keamanan. Penjajahan semacam itu secara cepat maupun lambat akan
terjadi, dan bahkan pada beberapa aspek sudah terjadi. Mereka yang tertinggal
ini akan menjadi sangat tergantung pola kehidupannya pada mereka yang memiliki
kreativitas dan inovasi dalam melakukan transformasi sistem pendidikan ke arah
kemajuan yang makin pesat.
Kondisi tersebut memiliki konsekuensi yang saling
bertolak belakang, dapat disebutkan di sini yakni satu sisi kesadaran
masyarakat dunia akan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara
signifikan, namun di satu sisi yang lain, upaya penanaman nilai-nilai moral dan
karakter berhadapan dengan kendala teknologi itu sendiri, mengingat pembiasaan
nilai-nilai karakter berjalan secara efektif jika dilakukan secara langsung
(tatap muka).
Namun, dalam situasi pandemic covid-19 dan era digital saat
ini, yang telah mampu merubah pola komunikasi manusia dari cara konvensional
(tatap muka langsung) ke cara digital (secara virtual; melalui perangkat media
teknologi), bukan berarti manusia lalu menjadi insan yang menutup diri terhadap
pergaulan luas, justru dalam kondisi seperti ini tiada lagi batas jarak dan waktu. Dengan kata lain, interaksi yang dulu
hanya bisa dilakukan secara tatap muka dan harus berdekatan jarak, sekarang
dapat dilakukan dengan cara tatap muka online (daring/virtual), sehingga dapat
memangkas banyak waktu, serta bisa dilakukan secepat mungkin meski dengan jarak
yang teramat jauh.
Dengan
kondisi seperti itu pula, ruang manusia dalam berinteraksi semakin luas bahkan
bisa dibilang tanpa ada batas sama sekali. Kini, masyarakat di Indonesia bisa
dengan sangat mudah, cepat dan murah mengakses informasi apapun tentang belahan
dunia lain, begitu pula sebaliknya. Terlebih dalam dunia pendidikan, institusi
pendidikan yang mampu bergerak luwes menangkap peluang perubahan zaman ini,
sudah dapat dipastikan bahwa lembaganya akan bertumbuh kembang dan maju secara
dinamis. Sebaliknya bagi institusi pendidikan yang berjalan kaku dan kering
gerakan inovasinya, maka lambat laun akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Lembaga
pendidikan saat ini hendaklah kembali kepada tujuan utamanya, sesuai amanat
Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional; Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[9]
Salah satu tujuan pendidikan berdasarkan Undang-undang
Sisdiknas tersebut adalah tercapainya kekuatan spiritual keagamaan, mampu
mengendalikan diri, memiliki kepribadian, serta memiliki kecerdasan, akhlak dan
keterampilan hidup, untuk kebaikan diri sendiri maupun masyarakat luas (M. Saekan Muchith,
2016).[10]
Pendidikan karakter yang dalam dua dasawarsa
terakhir mulai diformalisasikan di Indonesia (Siti Patimah, 2012),[11]
sejatinya merupakan komitmen kolektif yang bukan saja sekedar gerakan wacana, dan
tidak hanya dipahami sebatas pijakan teoritis tanpa makna, sehingga tidak mampu
menjadi gerakan solutif atas setiap persoalan mereduksinya nilai-nilai moral di
masyarakat, khususnya di lembaga pendidikan.
Kenyataannya,
jika kita semua mencermati bagaimana kondisi pergaulan generasi muda sekarang
ini, apalagi dunia harus beradaptasi dengan situasi pandemi covid-19 yang masih
belum diketahui dimana ujung penyelesaiannya nanti, maka menjadi pilihan wajib
bagi semua kalangan masyarakat, khususnya bagi pihak pengelola lembaga
pendidikan untuk mereformulasi dan memastikan bagaimana pendidikan karakter
benar-benar tetap terintegrasi dalam aktivitas pendidikan di era digital ini. Sehingga
substansinya tetap terpelihara dan hidup menyatu dalam laku setiap warga
pendidikan khususnya, sebagai salah satu upaya pencegahan dini institusi
pendidikan, dalam menangkal laju derasnya
arus pemikiran dan gerakan
IRT.
Institusi
Pendidikan Menangkal Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme
Penerapan pendidikan karakter serta empat pilar
kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) oleh institusi
pendidikan dalam menangkal laju gerakan IRT, sangat tidak cukup hanya disampaikan secara teoritik
melalui penyampaian gagasan maupun wacana, melalui proses pembelajaran dalam
kelas saja.
Dibutuhkan strategi gerakan yang lebih mengena, dengan melakukan inovasi dan kreatifitas program yang
terstruktur, sistematis serta berhaluan target yang jelas. Seluruh elemen
lembaga pendidikan harus terjun secara langsung dalam mengawal gerakan-gerakan
preventif (pencegahan) ini, kebijakan yang diambil harus seiring sejalan dengan
sistem top-down serta bottom-up, sehingga betul-betul bisa
menutup rapat-rapat celah masuknya paham IRT dalam institusi pendidikan
tersebut secara menyeluruh, beberapa langkah berikut merupakan salah satu upaya
yang dapat dilakukan, diantaranya :
a.
Re-Assesment, Monitoring
dan Evaluasi Kinerja Pimpinan, Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa, cerminan kualitas/mutu
sebuah institusi/lembaga pendidikan adalah bagaimana kurikulum pendidikan dan
pembelajaran dikembangkan serta diajarkan melalui proses pembelajaran.
Sedangkan, pengendali, pelaksana dan pengembang kurikulum tersebut adalah
terletak pada sumberdaya manusianya, yaitu pimpinan dengan segenap tenaga
pendidik dan kependidikannya.
Menentukan kedudukan mutu sumberdaya manusia dalam sebuah
institusi/lembaga pendidikan, harus dilakukan sejak awal melalui Pertama; program assesment. Program ini menjadi kewajiban dengan tujuan untuk
mengidentifikasi kompetensi komprehensif sumberdaya manusia, dan memberikan
paparan petunjuk data awal terkait latar belakang (background) seorang pimpinan (Kepala Sekolah/Madrasah), Tenaga
Pendidik dan Kependidikan. Latar belakang ini bukan saja dilihat dari aspek; basic disiplin keilmuannya saja, namun
lebih dari itu, potensi relasi keilmuan/pemikiran-gerakan dan sosialnya juga, yang
mencerminkan bagaimana dan dengan siapa saja obyek yang diassesment tersebut berinteraksi. Sehingga, sedari awal sudah dapat
diketahui corak pemikiran, tindakan dan gerakannya pada waktu-waktu
selanjutnya.
Secara teknis proses/tahapan assesment ini jika di institusi/lembaga pendidikan negeri, maka
harus diinisiasi oleh lembaga resmi pemerintah yang menaungi langsung, semisal
Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi untuk Sekolah Umum, dan
Kementerian Agama untuk Sekolah Berbasis Keagamaan/Madrasah Negeri. Sementara
di institusi/lembaga pendidikan swasta (yang dikelola oleh masyarakat), proses assesment ini harus diinisiasi oleh
Yayasan sebagai lembaga penyelenggara layanan publik pada sektor pendidikan.
Kedua; Monitoring adalah tahapan selanjutnya, dilakukan secara
berkala, proses ini bertujuan sebagai media identifikasi terhadap kedisiplinan
dan kualitas kerja seorang pimpinan instansi/lembaga pendidikan (Kepala
Sekolah/Madrasah) beserta segenap tenaga pendidik dan kependidikannya. Amanat
konstitusi yang menghendaki kehidupan yang harmonis, dengan menjunjung
nilai-nilai moderasi kehidupan dan beragama dijalankan dan dikembangkan di
instansi/lembaga pendidikan. Pada akhirnya, proses monitoring ini menjadi platform baku untuk selalu dilakukan
secara tertib. Pun, jika pada
akhirnya melalui proses monitoring ini ditemukan indikasi-indikasi
penyalahgunaan wewenang tugas, baik secara administratif prosedural, sampai
pada pemikiran-tindakan dan gerakan yang membahayakan integritas kebangsaan di
instansi/lembaga pendidikan tersebut, maka hal tersebut dilimpahkan pada
tahapan selanjutnya yakni evaluasi.
Ketiga; Evaluasi, yang menjadi pintu awal dalam menangani
setiap permasalahan maupun kejadian yang muncul pada tahapan monitoring,
sehingga ada efek dari proses evaluasi tersebut, diantaranya; Reward atau penghargaan atas prestasi
kinerja, berdasarkan ketentuan internal dari instansi/lembaga pendidikan
tersebut. Sedangkan Punishment atau
sanksi/hukuman diberikan atas pelanggaran kinerja yang dilakukan. Sanksi ini
diberikan sesuai bobot pelanggaran, dapat berupa teguran/pembinaan, sanksi
administratif, sanksi sosial, penonaktifan kerja, sampai dikeluarkan dari
instansi/lembaga pendidikan.
b.
Supervisi Implementasi
Kurikulum
Dewasa ini, memaknai kurikulum tidak bisa hanya dikaitkan
dengan persoalan perangkat pembelajaran saja dengan mengesampingkan aspek
lainnya, namun lebih luas daripada itu, kurikulum adalah kumpulan seperangkat
nilai yang dirancang untuk ditransformasikan kepada subjek didik, baik
nilai-nilai dalam bentuk kognitif, afektif maupun psikomotorik, sehingga
terbentuk pola pikir dan perilaku subjek didik (tenaga pendidik dan
kependidikan, peserta didik dan orangtua peserta didik), sesuai dengan visi
misi dari tujuan pendidikan secara makro (Syamsul Bahri, 2011).[12]
Namun, hakikat kurikulum tersebut seperti halnya fungsi
dan tujuan dari sebuah alat. Ibarat pisau yang tajam, akan menjadi alat yang
membahayakan jika yang menggunakannya adalah seorang yang memiliki karakter tidak
baik. Namun berbeda jika pisau tajam tersebut dipergunakan oleh orang yang baik
dan bertanggungjawab, fungsi dan tujuan dibuatnya pisau sudah pasti diarahkan
untuk kepentingan yang baik pula, semisal mempermudah aktifitas memasak,
pertukangan maupun aktifitas harian lainnya.
Begitu pula dengan kurikulum, sebaik apapun rancangan dan
konsepnya, jika diamanahkan kepada pengelola pendidikan yang minim inovasi,
kreatifitas serta tidak memiliki visi misi kemajuan, atau dengan kata lain
pengelola pendidikan yang memiliki karakter selalu ingin berada di zona nyaman,
maka kurikulum tersebut tidak ubahnya dengan rangkaian teori yang dijilid
menjadi sebuah buku, tanpa pernah mau dibaca, dikaji, diterapkan serta
dikembangkan substansinya.
Guna memastikan instansi/lembaga pendidikan menerapkan
pengembangan kurikulum dengan tertib sesuai amanat sistem pendidikan nasional,
khususnya berkaitan dengan penguatan ideologi negara yang terintegrasi ke dalam
aktifitas pembelajaran, sebagai langkah efektif menangkal arus IRT, maka
pendampingan dalam bentuk supervisi secara massif dan berkala menjadi keharusan
atau wajib dilakukan oleh seluruh pimpinan instansi/lembaga pendidikan.
Kepala Sekolah/Madrasah sebagai pemimpin dalam sebuah
instansi/lembaga pendidikan, memiliki tugas pokok salah satunya adalah sebagai
Supervisor (Pengawas/Pengarah) bagi tenaga pendidik dan kependidikan yang
dipimpinnya, untuk meningkatkan kompetensi diri supaya semakin profesional
dalam tugas (Muslimatun, 2021).[13]
Sebagai Supervisor, Kepala Sekolah/Madrasah harus memastikan bahwa seluruh
tenaga pendidik dan kependidikannya, serta peserta didik dan orangtua peserta
didik, tidak ‘terkontaminasi’ oleh paham dan gerakan IRT, baik dalam tugas dan
fungsi teknisnya masing-masing maupun dalam interaksi pergaulannya.
Secara teknis, seperti halnya apa yang diterapkan di
Madrasah Terpadu Yayasan Ummusshabri Kendari (PAUD-MI-MTs dan MA),[14]
menjadi salah satu langkah kebijakan yang bisa juga diterapkan di
instansi/lembaga pendidikan lainnya, khususnya berkaitan dengan penegasan sikap
secara institusi terhadap paham dan gerakan IRT. Kuncinya adalah pada ketekunan
Kepala Sekolah/Madrasah dalam melakukan supervisi. Supervisi secara berkala
bukan saja pada bagian kompetensi mengajarnya, namun juga berangkat dari
pengecekan secara berkala dan terukur, terhadap materi ajar melalui kesesuaian
isi buku mata pelajaran dengan penyampaian materi pembelajaran dalam kelas,
perangkat pembelajarannya, kegiatan-kegiatan akademik maupun non akademik
semisal ekstra kurikuler yang dilakukan dan dikembangkan oleh tenaga pendidik
di luar jam pembelajaran efektif, sampai pada pola komunikasi maupun interaksi
di komunitas konvensional maupun digital, yang dibangun oleh tenaga pendidik
bersama dengan para orangtua dan peserta didik, semisal grup-grup kelas melalui
aplikasi Whatsapp, Telegram dan berbagai aplikasi media sosial lainnya. Tidak
mengapa Kepala Sekolah/Madrasah menjadi anggota atau bagian dari grup-grup
tersebut, sebagai upaya untuk mengawasi dan mengontrol arah dan pola komunikasi
yang terjadi, supaya jika ditemukan adanya pembahasan yang mengarah pada paham
dan gerakan IRT dapat dengan cepat dan mudah diantisipasi (Bambang Suprayitno,
2021).[15]
Supervisi yang dilakukan dengan sistematika yang baik
melalui tugas pokok seorang Kepala Sekolah/Madrasah tersebut, menjadikan
celah-celah kesempatan arus dan laju persebaran paham dan gerakan IRT di
instansi/lembaga pendidikan semakin mengecil.
c.
Menumbuhkan Paham Wasathiyah
Dalam Pendidikan Inklusif
Menjadi pemahaman umum bahwa, IRT di Indonesia bermula
dari sistem yang dikondisikan oleh sekelompok orang maupun individu yang
memiliki nalar penolakan terhadap keilmuan ilmiah dan Pancasila, melalui
indoktrinasi secara massif dengan pola brainwash
atau pencucian otak (Oki Wahyu Budijanto dkk, 2021).[16]
Negara melalui perangkatnya yaitu Pemerintah dengan
melibatkan pihak-pihak yang berkompeten bersama dengan seluruh elemen
masyarakat khususnya warga intelektual dalam hal ini adalah subjek pendidikan,
harus melakukan langkah antisipasi pencegahan secara terstruktur, massif dan
sistematis dengan cara membuka ruang-ruang diskusi keagamaan dan keilmuan
ilmiah yang lebih terbuka, dan membuka ruang dialog yang berperspektif HAM. Hal
yang demikian menjadi penting mengingat eksklusifisme yang dibangun oleh kelompok
radikalis ini sangat berbahaya, apabila mereka selalu berdialog dengan sesama
komunitas mereka sendiri.[17]
Salah satu strategi yang dipandang efektif adalah dengan menumbuhkan paham dan
gerakan pendidikan Islam Wasathiyah
dan Pendidikan Inklusif.
Tidak bermaksud membuat perbandingan secara etimologi
(harfiah) maupun terminologi (istilah kontekstual), antara Paham Wasathiyah yang lebih bercirikan pada
dunia keIslaman (Agus Zaenul Fitri, 2015);[18]
dengan gerakan Inklusif yang diidentikkan dengan lingkup yang lebih plural, umum
dan meluas (Zaenal Alimin, 2011).[19]
Namun, dalam persoalan membendung paham IRT di Indonesia khususnya di lingkup
dunia pendidikan, perlu kita semua mendudukkannya pada tataran substansi paham
dan gerakannya, sehingga menumbuhkan pemahaman dan pola pikir yang lebih kritis
dan komprehensif.
Sejatinya, paham dan gerakan pendidikan Islam Wasathiyah dengan pendidikan Inklusif
sama-sama mengusung semangat terhadap wadah yang bernama lembaga pendidikan,
untuk secara tegas konsisten dalam mengemban visi, misi serta tujuannya dalam
membina manusia, dan membawanya ke arah masa depan yang lebih baik (Marlina
Gazali, 2013).[20] Hal ini
juga sejalan dengan bahasa pengantar (Ahmad Hadadi, 2017)[21],
bahwa lembaga pendidikan haruslah
mengedepankan keterbukaan, sikap menghargai untuk merangkul perbedaan atau
keragaman, tidak diskriminatif, ramah terhadap semua individu subjek didik,
tanpa melihat perbedaan agama, ras, suku, gender, bahasa dan kemampuan.
Pada ranah yang lebih riil di Sulawesi Tenggara, Madrasah
Terpadu Yayasan Ummusshabri Kendari, sebagai lembaga pendidikan yang memiliki
basis keunggulan pada tafaqquh fid diin
dan pengembangan sains-nya, dalam satu dasawarsa terakhirnya (2010 – sekarang),
telah berkomitmen membuka diri terhadap interaksi global. Hal ini dibuktikan
dengan penerapan multikurikulum, yakni; memadukan kurikulum nasional (mata
pelajaran umum), kurikulum salaf/pondok pesantren (kajian Kutub at-Turats dan mata pelajaran rumpun keagamaan) dengan
kurikulum internasional (bahasa Inggris dan sains).
Sistem pengembangan di lembaga pendidikan Ummusshabri
tersebut, sejalan dengan implementasi dari kaidah ushul fiqih yang populer di
dunia pondok pesantren, yaitu:
الأَصْلَحِ باِلجَدِيْدِ وَالأَخْذُ
الصَالِحِ القَدِيْمِ عَلَى المحُاَفَظَةُ
“Mempertahankan/melestarikan khazanah/tradisi lama yang
baik, dan mengambil khazanah/nilai-nilai baru (inovasi) yang lebih baik”.
Adanya Native
Speaker (Penutur Asli) sebagai upaya mempermantap pembiasaan berbahasa
asing bagi guru dan siswa, membuka akses lembaga terhadap pergaulan global,
dengan membangun kerjasama internasional bersama sekolah atau lembaga
pendidikan di luar negeri, serta menerapkan sistem pembelajaran dengan
mengedepankan pengamalan ilmu (sains)
dan pengetahuan (knowing) melalui
pola pembiasaan, menghendaki peserta didik untuk tidak hanya mempelajari dan
memahami kaidah dasar keagamaan dari satu literatur madzhab, ataupun satu
perspektif dasar keilmuan saja. Hal tersebut mengarahkan subjek didik untuk
memiliki pola pikir dan tindakan yang lebih terbuka dalam perbedaan, berani
mengeksplorasi keilmuan secara ilmiah dengan lebih mendalam dan luas, kritis
dalam memecahkan setiap persoalan kehidupan, dinamis serta substantif (Mohamad
Anwar, 2021).[22]
Karena pada akhirnya, paham dan gerakan eksklusifisme yang
bermetamorfosa menjadi sikap intoleran, radikalisme dalam arti konotasi yang
negatif; kaku, berlebihan dan mengarah kepada ancaman serta tindakan kekerasan,[23]
yang pada akhirnya berubah menjadi teror. Haruslah dilawan dengan paham dan
gerakan yang inklusif, yang mengedepankan platform
dialogis-ilmiah-kontekstual dan substantif, keterbukaan, kesetaraan dalam
status sosial bermasyarakat, dan saling menghargai dalam perbedaan. Melalui
ruang kunci peradaban manusia, yaitu institusi/lembaga pendidikan.
Penutup
Kesimpulan
Institusi
atau Lembaga Pendidikan sebagai wadah tumpuan utama
dalam membentuk bangunan peradaban umat manusia, haruslah terhindarkan dari sistem konstruksi pemikiran, paham dan gerakan
yang membahayakan integritas kebangsaan dan kemanusiaan, yang berlandaskan pada
nilai-nilai keTuhanan, kemanusiaan dan keberadaban. Paham dan gerakan
intoleransi, radikalisme dan terorisme (IRT) nyatanya menjadi ancaman laten
terhadap tujuan mulia pendidikan tersebut.
Langkah antisipatif
strategis wajib dilakukan secara terstruktur, massif dan sistematis dari
Pemerintah sampai ke Pengelola instansi/lembaga pendidikan (Kepala
Sekolah/Kepala Madrasah), sebagai bagian dari upaya preventif (pencegahan),
dalam menangkal paham tersebut masuk lebih dalam di lembaga pendidikan, tidak
ada celah sekecil dan sedikitpun terhadap potensi persebaran paham dan gerakan
tersebut. Mengingat paham dan gerakan IRT di post pandemi covid-19 dan digital ini bisa masuk dari segala
aktifitas, bahkan sampai pada gerakan penggiringan opini melalui sebaran
pemikiran melalui tulisan baik di media cetak sampai media sosial.
Beberapa strategi yang
dapat dilakukan adalah diantaranya :
1.
Re-Assesment,
Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pimpinan, Tenaga Pendidik dan Kependidikan.
Sumber daya manusia yang mengelola instansi/lembaga pendidikan haruslah
dipastikan ‘bibit-bebet dan bobot-nya’.
Pendeteksian sejak awal terhadap sumberdaya manusia
pengelola instansi/lembaga pendidikan dilakukan melalui Re-assesment, yang
ditujukan sebagai platform identifikasi
guna mengukur kompetensi komprehensif seluruh pengelola instansi/lembaga
pendidikan, dari Kepala Sekolah/Madrasah, sampai Tenaga Pendidik dan
Kependidikan. Re-assesment terhadap
Kepala Sekolah/Madrasah Negeri dilakukan oleh Pemerintah bisa melalui Dinas
terkait yang menaungi langsung (Kemendikbudristek/Kemenag), sedangkan untuk
Kepala Sekolah/Madrasah Swasta dapat dilakukan oleh Yayasan yang menaungi
instansi/lembaga tersebut. Untuk tenaga pendidik dan kependidikan, re-assesment dapat dilakukan oleh Kepala
Sekolah/Madrasah.
Monitoring, proses
ini wajib dilakukan meskipun secara berkala. Karena untuk dapat melihat proses
pengelolaan terpapar paham dan gerakan IRT adalah berada di tahapan ini. Dari
proses monitoring ini, gejala-gejala kontaminasi IRT dilanjutkan pada tahapan
selanjutnya, yaitu Evaluasi atas kinerja pengelola pendidikan. Pada tahapan
evaluasi semua permasalahan yang terjadi, khususnya terkait paparan paham dan
gerakan IRT selama proses monitoring dijabarkan, untuk ditentukan jenis
penindakan mulai teguran/pembinaan, sanksi administratif, sanksi sosial,
penonaktifan kerja, sampai dikeluarkan dari instansi/lembaga pendidikan.
2.
Supervisi atau pengawasan dan kontrol yang
dilakukan dengan sistematika yang baik dan terukur melalui tugas pokok seorang
Kepala Sekolah/Madrasah, pada semua aktivitas akademik maupun non akademik, merupakan
upaya untuk menutup celah-celah kesempatan arus dan laju persebaran paham dan
gerakan IRT di instansi/lembaga pendidikan.
3.
IRT masuk ke instansi/lembaga pendidikan
dengan pergerakan yang eksklusif dan non-dialog, sehingga paham dan gerakan ini
harus dilawan dengan sistem yang bertolak belakang, salah satunya adalah dengan
menumbuhkan paham dan gerakan pendidikan Islam Wasathiyah, yang menghendaki bagi para pegiatnya untuk memiliki
haluan dakwah yang lebih ramah. Serta pendidikan Inklusif yang merupakan
konsensus internasional, dan menjadi kiblat atau standar model pendidikan yang
mengakomodir seluruh potensi keragaman subjek didik, bukan saja pada aspek
kognitif semata, namun secara luas mencakup seluruh aspek hak asasi manusia itu
sendiri, dengan tetap menjunjung tinggi batasan-batasan normatif sosial maupun
substansi keagamaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin, (2010), Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana).
Kholil, Mohamad, (2007), Etika Pendidkan
Islam Petuah KH.M.Hasyim Asy‟ari untuk Para Guru (Kyai) dan Murid (Santri), (Yogyakarta:
Titian Wacana).
Ibrahim, Ruslan, (2007), “Pendidikan Nilai Dalam Era Pluralisasi”,
Jurnal INSANIA, P3M STAIN Purwokerto.
Sholehuddin, Lili, (2016), Pendidikan Afektif; Membangun Karakter Anak Bangsa Berakhlak Mulia
(Studi Kasus Pada Pendidikan Tingkat Dasar)
(Jakarta: Transwacana).
Abdul Wahab, Laode, (November 2016), Metamorfosa Radikalisme pada Lembaga Pendidikan di Sulawesi Tenggara, Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-35 Th. XXII.
Kemendikbud,
(2018),
Menangkal Radikalisme
dalam Pendidikan, (Jakarta: Puslitjakdikbud).
Undang-undang RI
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional).
Muchith, M. Saekan,
(2016),
“Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan”, Dalam Jurnal Addin Ilmu
Sosial dan Keagamaan”, Vol. 10, No. 1,
Februari (Kudus: STAIN Kudus).
Patimah, Siti,
(2012/1433),
Formalisme Pendidikan
Karakter Di Indonesia, Jurnal IAIN Raden Intan
Lampung, Vol. XVII No. 1.
Bahri, Syamsul, (Agustus 2011), Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya, Jurnal Ilmiah ISLAM
FUTURA, Volume XI, No. 1.
Muslimatun, (2021), Peran
Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Dalam Menngkatkan Kompetensi Profesional Guru
Di MTs Darul Huda Mayak Ponorogo, Tesis. (Ponorogo: IAIN Ponorogo.
Dokumen Peraturan Kepegawaian Yayasan Ummusshabri
Kendari, (Maret 2020), Bab VII, Pasal 51.
Budijanto, Oki Wahyu dkk, (April 2021), Pencegahan Paham Radikalisme Melalui
Optimalisasi Pendidikan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal HAM, Volume
12, Nomor 1.
Fitri, Agus Zaenul, (Juni 2015), Pendidikan Islam Wasathiyah: Melawan Arus Pemikiran Takfiri Di
Nusantara, Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 1.
Alimin, Zaenal, (2011), Paradigma Pendidikan Inklusif
Sebagai Upaya Memperluas Akses dan Perbaikan Mutu Pendidikan, JASSI_Anakku,
Volume 10: Nomor 1.
Gazali, Marlina, (Januari-Juni 2013), Optimalisasi Peran Lembaga Pendidikan Untuk
Mencerdaskan Bangsa, Jurnal Al-Ta’dib, Vol. 6 No. 1.
Buku Panduan untuk Pelaksana Program, (2017), Pendidikan Inklusif: Apa, Mengapa dan
Bagaimana, (Bandung: IDEAL Project).
Link/Web:
https://m.tempo.co/read/news/2011/01/27/063309390/enam-terduga-teroris-klaten-dari-satu-sekolah
Tafsir
Ibnu Katsir Versi Lengkap: 14. SURAH IBRAHIM
(belajartafsiralquran.blogspot.com)
[1]Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 14.
[2] Mohamad Kholil,
Etika Pendidkan Islam Petuah KH.M.Hasyim Asy‟ari untuk Para Guru (Kyai) dan Murid
(Santri), (Yogyakarta: Titian Wacana,
2007), hlm. xvii.
[3] Ruslan Ibrahim. “Pendidikan Nilai Dalam Era Pluralisasi”,
Jurnal INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, 2007, h. 5.
[4] Tafsir
Ibnu Katsir Versi Lengkap: 14. SURAH IBRAHIM
(belajartafsiralquran.blogspot.com), diakses pada tanggal 23 Mei 2021.
[5] Lili Sholehuddin, Pendidikan Afektif; Membangun Karakter Anak
Bangsa Berakhlak Mulia (Studi Kasus Pada Pendidikan Tingkat Dasar)
(Jakarta: Transwacana, 2016), h. 2-3.
[6] https://m.tempo.co/read/news/2011/01/27/063309390/enam-terduga-teroris-klaten-dari-satu-sekolah,
diakses pada tanggal 28 Maret 2021.
[7] Laode Abdul Wahab, Metamorfosa Radikalisme pada Lembaga
Pendidikan di Sulawesi Tenggara, Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-35 Th. XXII,
November 2016, h. 70.
[8] Kemendikbud, Menangkal Radikalisme dalam Pendidikan,
(Jakarta: Puslitjakdikbud, 2018), h. 131.
[9] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional
[10] M. Saekan Muchith, “Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan”, Dalam
Jurnal Addin Ilmu Sosial dan Keagamaan”, Vol. 10, No. 1, Februari (Kudus:
STAIN Kudus, 2016), h. 167-168.
[11] Siti Patimah, Formalisme Pendidikan Karakter Di Indonesia,
Jurnal IAIN Raden Intan Lampung, Vol. XVII No. 1 2012/1433, h. 117.
[12] Syamsul
Bahri, Pengembangan Kurikulum Dasar dan
Tujuannya, Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA, Volume XI, No. 1, Agustus 2011, h.
19-20.
[13] Muslimatun, Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Dalam Menngkatkan Kompetensi Profesional Guru Di MTs Darul Huda Mayak Ponorogo,
Tesis. (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2021), h. 46-49.
[14] Dokumen Peraturan
Kepegawaian Yayasan Ummusshabri Kendari, Bab VII, Pasal 51, Maret 2020, h. 22-23.
[15] Bambang Suprayitno.
Koordinator Pogram CIBI-CIBER Madrasah Terpadu Ummusshabri Kendari. Wawancara.
Kendari, 15 April 2021.
[16] Oki Wahyu
Budijanto dkk, Pencegahan Paham Radikalisme
Melalui Optimalisasi Pendidikan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal HAM,
Volume 12, Nomor 1, April 2021, h. 63.
[17] Oki Wahyu
Budijanto dkk, Pencegahan Paham
Radikalisme..., h. 63.
[18] Agus Zaenul
Fitri, Pendidikan Islam Wasathiyah:
Melawan Arus Pemikiran Takfiri Di Nusantara, Kuriositas, Edisi VIII, Vol.
1, Juni 2015, h. 48. Pendidikan Islam Wasathiyah
memiliki arti pendidikan yang memadukan antara teks Al-Qur’an dan konteks atau
realita yang ada seiring dengan perkembangan zaman.
[19] Zaenal
Alimin, Paradigma Pendidikan Inklusif Sebagai Upaya Memperluas Akses dan
Perbaikan Mutu Pendidikan, JASSI_Anakku, Volume 10: Nomor 1 Tahun 2011, h. 73. Pendidikan
Inklusif menjadi pembahasan internasional, dan menjadi konsensus oleh 55
partisipan dari 23 negara di Agra, India. Disetujui bahwa substansinya sekolah
seharusnya mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik,
intelektual, sosial-emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk
anak-anak disabilitas, anak-anak berbakat, anak-anak jalanan, anak-anak di
daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas yang tidak
beruntung dan terpinggirkan dari masyarakat.
[20] Marlina
Gazali, Optimalisasi Peran Lembaga
Pendidikan Untuk Mencerdaskan Bangsa, Jurnal Al-Ta’dib, Vol. 6 No. 1
Januari-Juni 2013, h. 128.
[21] Buku Panduan
untuk Pelaksana Program, Pendidikan
Inklusif: Apa, Mengapa dan Bagaimana, (Bandung: IDEAL Project, 2017), h. 8.
[22] Mohamad
Anwar. Humas
Yayasan
Ummusshabri Kendari. Wawancara. Kendari, 2 Desember 2021.
[23] Oki Wahyu
Budijanto dkk, Pencegahan Paham
Radikalisme..., h. 62.